426/KMK.06/2003

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 426/KMK.06/2003
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI
DAN PERUSAHAAN REASURANSI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan menganai Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993 ;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasurasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001.

MEMUTUSKAN
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Prinsip syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah.
2. Direksi adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama.
3. Komisaris adalah komisaris untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama.
4. Kantor pemasaran adalah kantor selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana teleh diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
5. Asosiasi adalah asosiasi dari perusahaan-perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan-perusahaan Asuransi Jiwa, atau Perusahaan-perusahaan Reasuransi.

BAB II
IZIN USAHA
Bagian Pertama
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional
Pasal 2

(1) Untuk mendapatkan izin usaha, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut:
a. bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; dan
b. dokumen pendukung lainnya yang meliputi:
1) susunan organisasi kepengurusan, termasuk uraian tugas dan wewenangnya;
2) neraca pembukaan yang dilengkapi bukti pendukungnya, dan proyeksi keuangan yang terdiri dari proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, yang didukung oleh asumsi-asumsi yang wajar untuk periode sekurang-kurangya 3 (tiga) tahun mendatang;
3) rencana di bidang kepegawaian termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia sekurang-kurangnya tiga tahun mendatang;
4) daftar riwayat hidup direksi, komisaris, dan tenaga ahli yang dipekerjakan, yang dilengkapi dengan bukti pendukungnya;
5) pernyataan tidak merangkap bekerja pada perusahaan lain, masing-masing bagi direksi dan tenaga ahli;
6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan, Direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham;
7) Bukti pemenuhan modal disetor;
8) Bukti penempatan deposito jaminan;
9) Uraian tentang sistem administrasi dan sistem pengolahan data yang digunakan;
10) Alamat lengkap perusahaan; dan
11) Pernyataan dari pemegang saham bahwa sumber dana yang dijadikan modal tidak berasal Tindak Pidana Kejahatan Asal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang
(2) Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, selain harus memenuhi ketentuan ayat (1) maka pihak asing tersebut harus memenuhi ketentuan:
a. memiliki rating sekurang-kurangnya A atau yang setara dengan itu dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional;
b. memilki modal sendiri sekurang-kurangnya 5 (lima) kali dari besarnya penyertaan langsung pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang didirikan;
c. menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir yang menunjukkan tingkat kesehatan keuangan yang sehat ; dan
d. menyampaikan perjanjian kerjasama antara pihak Indonesia dengan pihak asing yang dibuat dalam bahasa Indonesia, yang sekurang-kurangnya memuat:
1) komposisi permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999;
2) susunan anggota dewan komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; dan
3) kewajiban pihak asing untuk menyusun dan melaksakan program pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang keahliannya.

Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Menperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah

Pasal 3
Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dengan cara:
a. pendirian barau Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah;
b. konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah;
c. pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional atau Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional; atau
d. konversi dari kantor cabang Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional, atau konversi dari kantor cabang Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.

Pasal 4
(1) Untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksuda dalam Pasal 2.
(2) Konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis;
b. memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang polis; dan
c. memindahkan portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis yang tidak bersedia menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan asuransi dengan Prinsip Syariah.
(3) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1), pendirian atau konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah hareus pula menyampaikan:
a. bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian dibidang asuransi dan atau ekonomi syariah;
b. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan;
c. bukti pengesahan Dewas Pengawas Syariah Perusahaan atas produk asuransi yang akan dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
2) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan proyeksi underwrting bagi Perusahaan Asuransi Kerugian;
3) cara pemasaran;
4) rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi dan rencana dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi; dan
5) contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.
d. pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai syariah yang sekurang-kurangya mengatur mengenai penempatan investasi baik batas jenis maupun jumlah;
e. pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran risiko; dan
f. bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bagi konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b.

Bagian Ketiga
Pemberian atau Penolakan Izin Usaha
Pasal 5
(1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap;
(2) Setiap penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan penjelasan secara tertulis.

Pasal 6
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang ditolak atau yang membatalkan izin usahanya, dapat mengajukan permohonan pencarian deposito jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemeruintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1999.

Pasal 7
Selambat-lambatya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberian izin usaha, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus menyampaikan program dukungan reasuransi otomatis.

BAB III
KELEMBAGAAN

Bagian Pertama
Susunan Organisasi
Pasal 8
Susunan organisasi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi persyaratan:
a. sekurang-kurangnya menggambarkan secara jelas adanya fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan, yang terpisah satu dengan yang lainnya; dan
b. dilengkapi tugas, wewenang, tanggung jawab dan prosedur kerja dari masing-masing unit organisasi.

Bagian Kedua
Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham
Pasal 9
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memiliki sekurag-kurangnya 2 (dua) orang anggota Direksi.

Pasal 10
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris Independen, yaitu Komisaris yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham dan atau Direksi.

Pasal 11
(1) Setiap Direksi, Komisaris, atau pemegang saham Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus telah lulus ujian penilaian kemampuan dan kepatutan.
(2) Dalam hal ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pemegang saham belum diberlakukan, pemegang saham dianggap memenuhi ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan apabila yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Bagian Ketiga
Tenaga Ahli
Paragraf 1
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Kerugian
Pasal 12

(1) Perusahaan Asuransi Kerugian harus mengangkat seorang tenaga ahli asuransi kerugian.
(2) Tenaga ahli Asuransi Kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Majemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari organisasi sejenis diluar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga ) tahun.
c. Tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan
d. Terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan

Pasal 13
(1) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan jasa asuransi kerugian.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahli harus berpedoman pada standar praktik dan kode etik profesi yang berlaku.

Pasal 14
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi hanya dapat mempekerjakan tenaga underwriting yang telah mengikuti pendidikan dan atau pelatihan mengenai cabang asuransi yang dipasarkan.

Paragraf 2
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa
Pasal 15
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang tenaga ahli manajemen asuransi jiwa.
(2) Tenaga ahli manajemen Asuransi Jiwa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan
d. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi jiwa di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
(3) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha asuransi jiwa.

Pasal 16
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang aktuaris sebagai aktuaris perusahaan.
(2) Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikuit:
a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris dari Persatuan Aktuaris Indonesia atau asosiasi sejenis dari luar negeri yang terdaftar sebagai anggota penuh dari asosiasi aktuaris internasional (International Association of Actuaries) dan mendapatkan pengakuat dari Persatuan Aktuaris Indonesia;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria asuransi jiwa sekurang-kurangya 3 (tiga) tahun;
c. mendapatkan rekomendasi dari Persatuan Aktuaris Indonesia yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada Perusahaan Asuransi Jiwa di Indonesia, bagi aktuaris selain anggota Persatuan Aktuaris Indonesia; dan
d. terdaftar sebagai aktuaris di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.

Pasal 17
(1) Aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) wajib melakukan evaluasi terhadap kewajiban Perusahaan Asuransi Jiwa dan aspek teknis aktuaria lainya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris perusahaan harus berpedoman pada standar praktik dan kode etik profesi yang berlaku.

Pasal 18
Perusahaan Asuransi Jiwa wajib menunjuk Perusahaan Konsultan Aktuaria yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan untuk melakukan valuasi kewajiban perusahaan sekurang-kurangnya 1(satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.

Paragraf 3
Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi
Pasal 19
(1) Perusahaan Reasuransi harus mengangkat seorang tenaga ahli asuransi kerugian.
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memilki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia( AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan
d. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.

Pasal 20
(1) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha reasuransi.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahli harus berpedoman pada standar praktik dan kode etik profesi yang berlaku.

Paragraf 4
Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penggantian Tenaga Ahli atau Aktuaris Perusahaan
Pasal 21
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus melaporkan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris perusahaan kepada Menteri, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengangkatan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Menteri tidak memberikan tanggapan, maka proses pelaporan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris perusahaan dimaksud dinyatakan telah dilakukan.

Pasal 22
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memberhentikan tenaga ahli asuransi atau aktuaris perusahaan yang melanggar peraturan perundang-undangan dibidang usaha perasuransian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditemukannya pelanggaran.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memberikan tenaga ahli asuransi atau aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengangkat tenaga ahli atau aktuaris perusahaan dan melaporkannya kepada Menteri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberhentian.

Paragraf 5
Tenaga Ahli Pada Kantor Cabang
Pasal 23
(1) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi wajib mengangkat seorang tenaga ajun ahli asuransi kerugian pada setiap kantor cabang.
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi kerugian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya.

Pasal 24
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang ajun ahli manajemen asuransi jiwa pada setiap kantor cabang.
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen asuransi jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi jiwa sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya.

Paragraf 6
Pendaftaran Tenaga Ahli Asuransi dan Aktuaris
Pasal 25
Setiap tenaga ahli atau aktuaris wajib mendaftarkan diri dan mengajukan permohonan pendaftaran secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan dengan melampirkan:
a. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan data pendukungnya;
b. copy sertifikat gelar profesi; dan
c. keterangan tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi.

Paragraf 7
Pembatalan Pendaftaran Tenaga Ahli dan Aktuaris
Pasal 26
Pendaftaran tenaga ahli asuransi dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dibatalkan apabila tenaga ahli asuransi dan aktuaris dimaksud:
a. dicabut gelar profesinya oleh asosiasi profesi yang mengeluarkan gelar tersebut;
b. sedang dalam pengenaan sanksi asosiaso profesi;
c. melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang perasuransian;
d. tidak lulus pengujian kemampuan dan kepatutan karena faktor integritas, dalam hal tenaga ahli atau aktuaris pernah mengikuti ujian dimaksud.

Bagian Keempat
Sistem Administrasi Pengeloaan Data
Pasal 27
Pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurang-kurangnya didukung dengan:
a. pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia;
b. sistem administrasi yang memenuhi sistem pengendalian intern; dan
c. sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan putusan.

Bagian Kelima
Penggunaan Tenaga Asing
Pasal 28
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mempekerjakan tenaga asing sebagai tenaga ahli, penasihat atau konsultan, atau sebagai tenaga eksekutif di luar Direksi bagi perusahaan yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing, dengan ketentuan tenaga asing dimaksud:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggungjawabnya; dan
b. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mempekerjakan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan kepada menteri:
a. program kerja tenaga asing tersebut sesuai dengan tugasnya; dan
b. program pendidikan dan pelatihan di bidang keahliannya yang akan diberikan tenaga asing tersebut kepada karyawan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
(3) Laporan pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk setiap semester yang berakhir pada bulan Juni dan Desember wajib disampaikan kepada Menteri paling lambat akhir bulan berikutnya.
(4) Tenaga asing yang bekerja sebagai penasihat atau konsultan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang menjalankan fungsi diluar penasihat atau konsultan.

Bagian Keenam
Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 29
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sekuran-kurangnya 5% (lima per seratus) dari jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya.
(2) Laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan termasuk penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk setiap periode satu tahun yang berakhir tanggal 31 Desember, dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya tanggl 31 Januari tahun berikutnya.

Bagian Ketujuh
Keanggotaan Asosiasi
Pasal 30
(1) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menjadi anggota Asosiasi perusahaan sejenis.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas antara lain:
a. menyusun standar praktik dan kode etik pemasaran produk asuransi dalam rangka memelihara persaingan pasar yang sehat;
b. mengkoordinir pelaksanaan pembentukan profil risiko, tabel mortalita, dan produk semacamnya;
c. mengkoordinir upaya untuk mengoptimalkan kapasitas retensi asuransi nasional;
d. megkoordinir upaya bersama atau pembentukan perusahaan asuransi untuk menutup risiko khusus;
e. melaksanakan pendidikan dan pelatihan keagenan; dan
f. melaksanakan dan menetapkan sertifikasi keagenan.
(3) Pelaksanaan kegiatan Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikonsultasikan secara berkala kepada Menteri.

BAB IV
KANTOR CABANG DAN KANTOR PEMASARAN
Bagian Pertama
Pembukaan Kantor Cabang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional
Pasal 31
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat membuka kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, dengan ketentuan:
a. memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas untuk 4 (empat) triwulan terakhir;
b. memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 24 ayat (2), yang bekerja secara penuh pada kantor cabang yang bersangkutan; dan
c. tidak sedang dalam proses pengenaan sanksi administrasi.
(2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri dengan melampirkan:
a. uraian tentang sistem administrasi dan sistem pengelolaan data yang memenuhi fungsi pengendalian intern berkenaan dengan kegiatan kantor cabang;
b. uraian tentang rincian kewenangan pimpinan cabang dalam penutupan asuransi, penetapan premi, penetapan besarnya komisi, dan penyelesaian klaim;
c. identitas pimpinan kantor cabang;
d. bukti mempekerjakan tenaga ahli pada kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b yang akan dipekerjakan pada kantor cabang dimaksud, berikut bukti kualifikasi keahliannya dan daftar riwayat hidup dengan bukti pendukungnya;
e. alamat lengkap kantor cabang; dan
f. proyeksi keuangan kantor cabang yang meliputi proyeksi pendapatan dan biaya serta arus ka, untuk sekurang-kurangnya 3 tahun mendatang.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Cabang Dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional
Pasal 32
(1) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c atau konversi kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dalam anggaran dasar perusahaan dinyatakan bahwa maksud dan tujuan perusahaan hanya menjalankan usaha asuransi kerugian, asuransi jiwa, atau usaha reasuransi termasuk usaha dengan Prinsip Syariah;
b. memiliki modal kerja kantor cabang paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar Rupiah); dan
c. memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), yang memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah.
(2) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1), permohonan pembukaan kantor cabang dengan Prinsip Syariah harus pula dilengkapi dengan bukti:
a. pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang;
b. bukti mempekerjakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c yang dilengkapi dengan bukti kualifikasi, daftar riwayat hidup termasuk bukti pendukungnya;
c. pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan;
d. pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan atas:
1) sumber modal kerja kantor cabang;
2) sistem akuntansi yang terpisah/tersendiri khusus untuk cabang dengan Prinsip Syariah;
3) produk asuransi yang akan dipasarkan;
4) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
5) dasar perhitungan tarif premi, dan cadangan premi, dan proyeksi underwriting bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi;
6) cara pemasaran;
7) rencana dukungan reasuransi otomatis bagi perusahaan asuransi dan rencana dukungan retrosesi bagi perusahaan reasuransi; dan
8) contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.

Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah
Pasal 33
Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c.

Bagian Keempat
Pembukaan Kantor Pemasaran
Pasal 34
Pembukaan kantor pemasaran harus terlebih dahulu dilaporkan secara tertulis kepada Menteri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum pembukaan kantor dimaksud, dengan menyebutkan alamat lengkap dan identitas pimpinan kantor tersebut.
Pasal 35
(1) Kantor Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berfungsi sebagai Kantor Pemasaran yang membantu pelayanan informasi kepada masyarakat pemegang polis atau tertanggung.
(2) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang:
a. menerima atau menolak penutupan asuransi;
b. menandatangani polis; dan
c. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim.

Bagian Kelima
Penutupan Kantor Cabang dan Kantor Pemasaran
Pasal 36
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan menghentikan atau menutup kegiatan suatu kantor cabang dan atau Kantor Pemasaran harus melaporkan terlebih dahulu kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal penghentian atau penutupan kantor dimaksud.

Pasal 37
Pencabutan izin pembukaan suatu kantor cabang akan dilakukan dalam hal:
a. adanya laporan penghentian atau penutupan kantor cabang tersebut oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
b. kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan operasional dalam waktu tiga bulan sejak tanggal penetapan izin pembukaan; dan atau
c. kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan operasional dalam waktu enam bulan secara terus-menerus.

BAB V
PEMASARAN MELALUI JASA AGEN DAN MELALUI KERJASAMA DENGAN PIHAK BANK
Bagian Pertama
Pemasaran Melalui Jasa Agen
Pasal 38
(1) Perusahaan Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan agen asuransi yang memasarkan produk asuransinya.
(2) Perusahaan Asuransi dilarang mempekerjakan agen yang masih terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi lain kecuali agen yang bersangkutan telah mengakhiri perjanjian keagenannya sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi menggunakan jasa pemasaran selain agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Perusahaan Asuransi tersebut bertanggungjawab penuh terhadap konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi dimaksud.

Bagian Kedua
Pemasaran Melalui Kerjasama dengan Bank
Pasal 39
(1) Perusahaan Asuransi dapat melakukan pemasaran melalui kerjasama denga bank (bancassurance).
(2) Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab atas semua tindakan bank yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerjasama dengan bank dimaksud.

Pasal 40
(1) Perusahaan Asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank harus memperoleh persetujuan Menteri.
(2) Untuk memperoleh persetujuan Menteri, Perusahaan Asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui kerjasama dnegan bank harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan menyampaikan:
a. produk yang akan dipasarkan;
b. prosedur penutupan dan pembayaran premi;
c. prosedur penyelesaian klaim; dan
d. konsep perjanjian kerjasama dengan bank yang telah diaraf oleh para pihak.
(3) Petugas bank yang akan melakukan pemasaran produk harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikasi keagenan asuransi yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait; dan
b. telah memperoleh pelatihan mengenai produk asuransi yang akan dipasarkan.
(4) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan perjanjian kerjasama dengan pihak bank yang telah ditandatangani, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak memperoleh persetujuan Menteri.

BAB VI
LAPORAN PERUBAHAN
Pasal 41
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan mengenai setiap perubahan:
a. alamat kantor perusahaan baik kantor pusat, kantor cabang maupun Kantor Pemasaran;
b. tenaga ahli;
c. penggunaan tenaga asing;
d. susunan organisasi;
e. pemimpin kantor cabang maupun Kantor Pemasaran;
f. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
g. produk asuransi yang dipasarkan.
(2) Perubahan alamat kantor cabang atau selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dimungkinkan:
a. bagi perusahaan alamat di dalam wilayah Kotamadya yang sama atau Kabupaten yang sama;
b. bagi perubahan alamat antar wilayah Kotamadya pada Ibu Kota Propinsi;
c. bagi perubahan alamat dari kabupaten ke kotamadya yang merupakan pengembangan wilayah kabupaten dimaksud, atau sebaliknya.

Pasal 42
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang melakukan perubahan anggaran dasar harus menyampaikan bukti persetujuan dari instansi yang berwenang kepada Menteri, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diperoleh persetujuan.
(2) Dalam hal perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan dari instansi yang berwenang, maka perubahan yang sudah dimuat dalam akta notaris disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal perubahan.

Pasal 43
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan perubahan kepemilikan, harus terlebih dahulu melaporkan rencana perubahan kepemilikan tersebut kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan.
(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perubahan kepemilikan yang mengakibatkan terdapatnya penyertaan langsung pihak asing di dalam perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut, maka pihak asing dimaksud harus Perusahaan Asuransi sejenis atau perusahaan induk (holding company) yang sebagian besar portofolio anak perusahaannya di bidang asuransi.
(3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2).
(4) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf b, c, dan d.

BAB VII
MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI
Bagian Pertama
Merger dan Konsolidasi
Pasal 44
(1) Merger dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan menggabungkan dua atau lebih perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan dengan satu atau tanpa melikuidasi perusahaan lainnya.
(2) Konsolidasi dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan melebur dua atau lebih perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaan yang dilebur.
(3) Merger dan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.

Pasal 45
(1) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan melampirkan bukti sebagai berikut:
a. Perjanjian dalam bahasa Indonesia, mengenai semua hak dan kewajiban dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan merger atau konsolidasi dengan tidak mengurangihak tertanggung;
b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan merger atau konsolidasi;
c. laporan keuangan performa dari perusahaan hasil merger atau konsolidasi yang memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas;
d. rancangan perubahan anggaran dasar.
(2) Perjanjian pengalihan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf, antara lain harus mencantumkan bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari semua penutupan obyek asuransi yang dilakukan oleh perusahaan yang melakukan merger atau konsolidasi, menjadi tanggung jawab perusahaan baru hasil merger atau konsolidasi.

Pasal 46
(1) Perusahaan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, wajib melaporkan hasil pelaksanaan merger atau konsolidasi kepada Menteri dengan melampirkan:
a. anggaran dasar perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan perusahaan;
c. surat pengangkatan tenaga ahli;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan, Direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham; dan
e. alamat lengkap perusahaan.
(2) Laporan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan atau pengesahan anggaran dasar perusahaan dari instansi yang berwenang.
(3) Setelah mendapatkanlaporan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mencabut izin usaha yang sudah tidak digunakan lagi oleh perusahaan yang melakukan merger, atau mencabut izin usaha perusahaan yang melakukan konsolidasi dan menerbitkan izin usaha perusahaan hasil konsolidasi.

Bagian Kedua
Akuisisi
Pasal 47
(1) Akuisisi dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi lain sehingga mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut.
(2) Untuk melaksanakan akusisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi harus memperoleh persetujuan dari Menteri.
(3) Pelaksanaan akusisi terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. perusahaan yang melakukan akuisisi adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sejenis;
b. pelaksanaan akusisi tersebut tidak mengakibatkan berkurangnya hak tertanggung; dan
c. pelaksanaan akuisisi tersebut harus memperhatikan ketentuan tentang pembatasan kekayaan yang diperkenankan dalam bentuk investasi sehingga tidak mengakibatkan perusahaan yang melakukan akuisisi menjadi tidak memenuhi ketentuan tentang tingkat solvabilitas.
(4) Untuk memperoleh persetujuan melakukan akuisisi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi ketentuan dalam ayat (3) dan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri dengan melampirkan bukti sebagai berikut:
a. Perjanjian dalam bahasa Indonesia, mengenai pengalihan hak dan kewajiban dari perusahaan yang akan diakuisisi kepada perusahaan yang akan mengakuisisi, dengan tidak mengurangi hak tertanggung;
b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari perusahaan yang akan diakuisi dan yang akan mengakuisisi;
c. laporan keuangan performa dari perusahaan pelaksanaan akusisi, yang memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas; dan
d. rancangan perubahan anggaran dasar dari perusahaan yang diakuisisi.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 48
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan penutupan pertanggungan melalui jasa keperantaraan perusahaan pialang asuransi atau pialang reasuransi yang tidak memiliki izin usaha dari Menteri.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
(1) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah memperoleh izin usaha sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan.
(2) Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib mendaftarkan diri kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 paling lambat 6 (enam) bulan sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 51
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2003

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd
BOEDIONO

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.