51/DSN-MUI/III/2006

Fatwa
Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 51/DSN-MUI/III/2006
tentang
Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah

Menimbang :

a. Bahwa fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah khususnya mengenai akad Tijarah (Mudharabah) belum memuat akad Mudharabah Musytarakah;

b. Bahwa akad Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah sangat diperlukan oleh industri asuransi syariah;

c. Bahwa fatwa Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah perlu dibuat secara khusus sebagai implementasi dari fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah;

d. Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :

1. Firman Allah SWT, antara lain:
o

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahtera-an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. al-Nisa’ [4]: 9).
o

“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
o

“…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…” (QS. Shad [38]: 24).
o

“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1)
o

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. al-Nisa’ [4]: 29)
o

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisa [4]: 58).
o

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2)

2. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:, antara lain:
o

“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
o

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
o

“…Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)

3. Kaidah fiqh:

“Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Memperhatikan:

1. Pendapat para ulama, antara lain:
o

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pergi berniaga sebagai mudharib ke Syam dengan harta Sayyidah Khadijah binti Khuwailid sebelum menjadi nabi; setelah menjadi nabi, beliau menceritakan perniagaan tersebut sebagai penegasan (taqrir).” (Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, [al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2004], juz I, h. 141; Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, Nahwa Tathwir al-Mudharabah, [al-Qahirah: Maktabah al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 2000], h. 411).
o

“Mudharabah adalah akad yang disyari’atkan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Dalil pensyari’atan tersebut ditetapkan dengan ijma’ yang didasarkan pada sunnah taqririyah.” (Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, Nahwa Tathwir al-Mudharabah, [al-Qahirah: Maktabah al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 2000], h. 11).
o

Bagian keempat: bermusyarakah dua modal dengan badan (orang) pemilik salah satu modal tersebut. Bentuk ini meng-gabungkan syirkah dengan mudharabah; dan hukumnya sah. Apabila di antara dua orang ada 3000 (tiga ribu) dirham: salah seorang memiliki 1000 dan yang lain m-emiliki 2000, lalu pemilik modal 2000 mengizinkan kepada pemilik modal 1000 untuk mengelola seluruh modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi dua antara mereka (50:50), maka hukumnya sah. Pemilik modal 1000 mem-peroleh 1/3 (satu pertiga) keuntungan, sisanya yaitu 2/3 (dua pertiga) dibagi dua antara mereka: pemilik modal 2000 memperoleh ¾ (tiga perempat)-nya dan amil (mudharib) memperoleh ¼ (seperempat)-nya; hal ini karena amil memperoleh ½ (setengah) keuntungan. Oleh karena itu, keuntungan (sisa?) tersebut kita jadikan 6 (enam) bagian; 3 (tiga) bagian untuk amil, (yaitu) porsi (keuntungan) modalnya 2 (dua) bagian dan 1 (satu) bagian ia peroleh sebagai bagian karena ia mengelola modal mitranya; sedangkan porsi (keuntungan) modal mitranya adalah 4 (empat) bagian, untuk amil 1 (satu) bagian, yaitu ¼ (seperempat)… Jika seseorang (shahib al-mal) menye-rahkan kepada mudharib seribu sebagai mudharabah, dan ia berkata, “Tambahkan seribu dari anda, dan perniaga-kanlah modal dua ribu tersebut dengan ketentuan dibagi antara kita: untuk anda 2/3 (duapertiga) dan untukku 1/3 (sepertiga),” hal tersebut boleh hukumnya, dan itu adalah syirkah (musyarakah) dan qiradh (mudharabah)… (Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 348).
o

“Mudharib (pengelola) boleh menyertakan dana ke dalam akumulasi modal dengan seizin rabbul mal (pemilik modal yang awal). Keuntungan dibagi (terlebih duhulu) atas dasar musyarakah (antara mudharib sebagai penyetor modal/ dana dengan shahibul mal) sesuai porsi modal masing-masing. Kemudian mudharib mengambil porsinya dari keuntungan atas dasar jasa pengelolaan dana. Hal itu dinamakan mudharabah musytarakah.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 107).

2. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dan AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadil Ula 1426 H / 14-15 Juni 2005 M.

3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada 23 Shafar 1427/23 Maret 2006.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:

a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;

b. peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.

2. Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.

Ketiga : Ketentuan Akad

*

1. Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah.
*

2. Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta.
*

3. Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinves-tasikan secara bersama-sama dalam portofolio.
*

4. Perusahaan asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut.
*

5. Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
o

hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
o

besaran nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi;
o

syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan.
*

6. Hasil investasi :

Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternatif sebagai berikut:
o

Alternatif I :

a. Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati.

b. Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.
o

Alternatif II :

a. Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing.

b. Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
*

7. Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.

Keempat: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah

*

1. Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor).
*

2. Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).
*

3. Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).

Kelima: Investasi

*

Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
*

Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

Keenam: Ketentuan Penutup

*

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
*

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 23 Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,

Sekretaris,

DR. KH. M.A Sahal Mahfudh

Drs. H.M. Ichwan Sam

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.